Alat - alat berat seharusnya tidak dapat dikenakan pajak karena merupakan alat produksi, bukan kendaraan transportasi atau kendaraan bermotor.
Dosen
Hukum Pajak Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Dewi
Kania Sugiharti, berpendapat pengenaaan pajak bea balik nama kendaraan
bermotor (BBNKB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) terhadap alat-alat
berat merupakan double taxation (pajak berganda).
“Jika pada saat penyerahan alat-alat berat dikenakan pajak penjualan (PPN), maka pengenaan BBNKB merupakan double taxation vertikal,” kata Dewi saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (10/4).
Dikatakan
Dewi, kedua jenis pajak PPN dan BBNKB merupakan pajak tidak langsung
yang dipungut oleh instansi yang berbeda (PPN pajak pusat, sedangkan
BBNKB pajak daerah). Ia menilai UU PDRD telah memperluas pengertian
kendaraan bermotor atau memperluas objek pajak yang ditujukan untuk
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
“Hanya
mempertimbangkan fungsi budgeter pajak, tidak memperhatikan fungsi
mengatur yakni fungsi pajak sebagai sarana untuk menggerakkan dunia
usaha,” kata ahli yang dihadirkan pemohon.
Menurut
Dewi, akibat perluasan objek ini dapat menimbulkan sikap perlawanan
pajak dari para pengusaha. Pemerintah daerah dapat saja memaksa untuk
menerapkan sanksi pajak, tetapi penerapan sanksi itu belum tentu
efektif. Bahkan, mungkin pengusaha melakukan tindakan lain, seperti
menghentikan usaha atau mengalihkan usaha ke tempat lain yang tarif
pajaknya lebih rendah atau tidak ada pajaknya sama sekali.
Perbedaan
pengaturan tarif PKB antardaerah juga menimbulkan perlakuan
diskriminatif terhadap wajib pajak, sehingga wajib pajak merasa
diperlakukan tidak adil. “Padahal tujuan hukum pajak menciptakan
keadilan bagi semua pihak. Kondisi ini juga akan membengkaknya sengketa
pajak di pengadilan pajak,” sambung Dewi.
Ahli
lainnya, Prof. HM Laica Marzuki menilai pasal 6 ayat (4) dan pasal 12
ayat (2) UU PDRD inkonstitusonal. Sebab, alat-alat berat seharusnya
tidak dapat dikenakan pajak karena merupakan alat produksi, bukan
kendaraan transportasi atau kendaraan bermotor.
“Menyamakan
dua hal yang berbeda dalam pengenaan pemungutan pajak menimbulkan
ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Pengenaan pajak alat-alat berat
bersamaan dengan produksi yang diperoleh menyebabkan pajak berganda,”
kata mantan hakim konstitusi ini.
Untuk diketahui, tujuh perusahaan kontraktor
pertambangan dan konstruksi yakni PT Bukit Makmur Mandiri Utama, PT
Pama Persada Nusantara, PT Swa Kelola Sukses, PT Ricobana Abadi, PT
Nipindo Prima Mesin, PT Lobunta Kencana Raya, dan PT Uniteda Arkato
memohonkan pengujian pasal 1 angka 13, pasal 5 ayat (2), pasal 6 ayat
(4), dan pasal 12 ayat (2) UU PDRD terhadap UUD 1945.
Pasal-pasal yang mengatur pengenaan pajak kendaraan bermotor di luar jalan umum yang termasuk alat-alat berat/besar seperti buldozer, dumptruck, grader, tractor, dan backhoe, dinilai
memberatkan dan merugikan hak konstitusional para pemohon yang
menguasai alat-alat berat/besar. Termasuk, jika tak bayar pajak ancaman
pidananya alat-alat berat itu bisa disita atau dipasang police line.
Para
pemohon menyayangkan UU PDRD mempersamakan alat-alat berat dengan
kendaraan bermotor. Padahal, dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
sebelumnya (UU No. 18 Tahun 1997)
alat-alat berat bukan kendaraan bermotor karena alat berat tidak
menggunakan jalanan umum, tetapi punya jalan khusus yang dibuat oleh
pemilik proyek.
Karena itu, pemohon meminta MK menyatakan pasal 1 angka 13 sepanjang frasa ‘..termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen’, dan pasal 5 ayat (2) sepanjang frasa ‘…termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar...’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat secara hukum.
Demikian pula dengan pasal 6 ayat (4) dan Pasal 12 ayat (2) diminta untuk dibatalkan.
sumber : hukumonline .com
sumber : hukumonline .com